“Andai aku menjadi hujan, aku akan membasahi hatimu yang gersang saat ditinggal olehnya.
Andai aku menjadi hujan, aku akan sangat bahagia karena selalu kau rindukan,” kata Dika mencoba merayu Naya.
“Hahaha, makasih Dika. Kamu cukup menghibur hatiku,” tanggap Naya sambil membelalakkan matanya tak percaya Dika mengatakan hal itu.
“Aku serius, Nay. Aku ingin seperti hujan yang selalu kamu tunggu. Sejak pertemuan pertama kita dulu aku sudah suka sama kamu. Aku sayang sama kamu,” jelas Dika mengungkapkan perasaannya.
Naya terdiam. Dia memandang lekat-lekat sosok tampan yang duduk di hadapannya. Saat perasaannya sedih seperti sekarang ini Dika selalu menjadi orang pertama yang mengerti dirinya. Sejak masa orientasi siswa baru Naya dan Dika mulai dekat. Naya selalu merasa beruntung bisa bersahabat dengan Dika. Dika selalu tahu apa yang dia rasakan.
“Kita sahabat, Di,” balas Naya.
Dika bergeming. Naya pelan-pelan berdiri meninggalkan kantin. Dika masih duduk menghadapi segelas es teh manis kesukaannya.
“Naya,” gumam Dika seolah baru tersadar lalu menyesap minumannya sampai tandas dan bergegas menyusul Naya.
Naya sudah sampai di tempat parkir sekolah. Dika tiba di sana tepat saat Naya sudah melajukan sepeda motor automatik kesayangannya.
“Naya! Tunggu!” seru Dika mengejar Naya.
“Sampai ketemu lagi, Di,” jawab Naya sambil melambaikan tangan kirinya dan berlalu dari jangkauan Dika.
Dika menghentikan pengejarannya. Dia tahu Naya tidak suka didesak. Ingin sekali rasanya mengikuti Naya pulang sampai rumahnya. Dika sangat tahu bagaimana Naya jika dalam kondisi seperti ini. Terbesit rasa sesal telah mengungkapkan perasaannya tadi pada Naya. Nasi sudah menjadi bubur. Dika gontai mendekati motor jadulnya lalu membawa perasaannya pulang.
Selama perjalanan pulang, Naya berusaha menepis segala kegundahan hatinya. Baru saja dia patah hati ditinggal begitu saja oleh Anash, kini masalah baru muncul. Naya tidak menyangka Dika akan senekat itu. Dika bukan bucin. Dia juga bukan perayu ulung. Dika itu orang yang pasti. Dika tak pernah menggunakan kata-kata bersayap seperti dirinya. Saat Dika berargumen, dia sudah menyiapkan segudang fakta sebagai alasan pendukungnya. Tapi, benarkah yang dia katakan tadi? Mungkin Dika bercanda, pikirnya.
***
“Nay, ada Dika,” kata Bunda Sarah setelah mengetuk pintu kamar Naya.
“Hai, Di,” sapa Naya menghampiri Dika.
Dika sudah sering bertandang ke rumah Naya. Teras rumah ini menjadi tempat favorit mereka. Kadang-kadang Bunda Sarah ikut mengobrol bersama mereka. Dika sudah menganggap Bunda Sarah sebagai ibunya sendiri.
“Aku punya buku baru. Pasti kamu belum baca,” sahut Dika langsung menyodorkan sebuah buku yang sudah tersampul plastik.
“Wow, Nikah Tanpa Hati! Kok kamu tahu aku ingin baca ini?” seru Naya kegirangan.
“Dika, gitu, loh,” jawab Dika membanggakan diri.
“Yey. Makasih, Dika. Kamu baik banget,” balas Naya.
“Sama-sama, Nay. Jadi, sekarang kita udah baikan?” tanya Dika pelan menatap lekat bola mata hitam Naya.
“Memangnya kita berantem?” tanya balik Naya.
“Enggak sih. Maafin aku ya, aku janji enggak akan membahas itu lagi,” jawab Dika meyakinkan.
“Iya, sudah. Kamu mau minum apa, Di?”
“Seperti biasa,” jawab Dika sambil tertawa kecil.
Naya menjentikkan jarinya dan masuk hendak membuatkan Dika es teh manis kesukaannya. Naya lega. Bukan hal mudah menyimpan perasaan tak nyaman dalam hatinya selama dua malam. Setelah pertemuan terakhirnya di sekolah, Naya selalu memikirkan Dika. Terbesit sesal dalam benak Naya. Bagi Naya, Dika memang sudah seperti hujan yang selalu dia rindukan kehadirannya.
Mendung yang sejak Minggu pagi menggelayut akhirnya buncah. Perlahan hujan turun. Rinainya selalu membinarkan pemujanya. Dika menarik tangan Naya ke tengah halaman. Tawa pun pecah. Kini, Naya tak sendirian menikmati hujan.
Sumedang, 03062020
#Cerpen Tarian Hujan sudah diterbitkan dalam buku Kumpulan Cerpen Diari Hati Kanaya karya Neng Yayas (2022)