“Aku berangkat dulu,
Ta,” pamit Mas Pri.
Kucium tangannya seperti
biasa jika suamiku akan bepergian. Namun sore ini aku merasakan sesuatu yang
janggal pada sikapnya. Lama ia menggenggam tanganku seolah enggan
lepas lalu menarikku dalam pelukannya.
“Eh, Mas, ....”
“Stt, biar kangen,
nanti.” Aku pasrah dalam dekapan tubuh kekarnya. Menikmati debaran jantung yang
tiba-tiba berdemo tidak karuan. Jarang-jarang pria dingin dan kalem yang
kunikahi hampir tujuh belas tahun bersikap romantis spontan seperti ini.
“Hm ... sudah ah
pelukannya, nanti Mas terlambat menjemput Pram.” Aku bergelinjang
melepaskan diri dari pelukan Mas Pri. Mas Pri menepuk-nepuk kepalaku gemas.
Aku masih keheranan atas
sikapnya saat akhirnya Mas Pri berangkat untuk menjemput Pramita di
sekolahnya. Kucoba menepiskan perasaan itu dengan mendoakannya. Rasanya
mukaku masih merah menahan malu dan girang.
Pramita mungkin sudah
lama selesai jam tambahan pelajarannya dan kini sedang menunggu Mas Pri
menjemputnya. Mas Pri selalu bersemangat antar-jemput putri semata wayangnya
itu walaupun baru sebentar istirahat pulang dari pekerjaannya. Memang
tidak setiap hari ia melakukannya. Hanya pada hari-hari tertentu saja jika
Pramita ada jam tambahan dari gurunya.
“Kita tak akan lama
bersama Pram, Ta. Jadi, selagi ada kesempatan akan kugunakan waktu
untuknya sebaik mungkin. Cepat atau lambat kita akan berpisah dengannya.”
Alasan Mas Pri selalu kuingat sampai detik ini.
“Hati-hati, Mas,”
pesanku.
“Doakan aku, ya,”
pintanya sambil mengacungkan jempol tangan kanan.
Kutatap punggung Mas Pri
di atas sepeda motor dan akhirnya menghilang di ujung gang. Angin berembus
perlahan menerbangkan debu-debu halus yang kuhalau masuk rumah dengan segera
menutup pintu. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Aku akan memasak
untuk makan malam nanti, masakan kesukaan Mas Pri dan Pramita tentunya.
Tak perlu waktu lama.
Semua hidangan sudah tersaji dan siap disantap di atas meja makan. Sambil
menunggu Mas Pri dan Pramita pulang, aku menonton televisi mungil di
ruang tamu yang merangkap ruang keluarga.
Prang.
Gelas yang isinya baru
saja kuminum dan hendak kutaruh lagi di atas meja terjatuh. Refleks aku berdiri
dan menginjak pecahan belingnya. Ceroboh sekali aku! Dengan berjinjit aku mengambil
sapu dan lap pel untuk membereskan semuanya. Setelah itu barulah merawat luka
di telapak kaki yang sepertinya tak seberapa dalam.
Langit mulai gelap, Mas
Pri dan Pramita belum tiba di rumah. Biasanya sebelum pukul lima mereka
sudah kelihatan. Luka yang tadi baru terasa perih tapi coba kuabaikan.
Aku duduk di kursi teras sambil menyaksikan beberapa kendaraan roda dua yang
lewat di depan rumah. Rumah kami berada di sebuah gang sempit dan
memiliki halaman yang hanya cukup untuk parkir dua buah sepeda motor
saja.
Aku kembali memikirkan
orang-orang yang kusayangi. Ke mana mereka? Karena hujan gang yang biasanya
sore-sore begini diramaikan pula oleh celotehan bocah-bocah sudah sepi.
Orang-orang sudah kembali berkumpul dalam kehangatan keluarganya. Hanya aku
yang tersisa di luar. Menanti jantung-jantung hatiku dalam derai hujan yang
belum mereda sejak sore.
Aku mencoba menghubungi
ponsel Mas Pri. Hanya nada sambung yang kudengar. Begitu pula ponsel
Pramita. Mungkin mereka tanggung masih di atas motor. Kukirimkan pesan ke
ponsel Pramita, tak ada balasan. Perasaanku makin tidak karuan. Cukup lama
mondar-mandir di teras sambil sesekali melihat ponsel, akhirnya kuputuskan
masuk dan menunggu mereka di dalam rumah.
Setelah mengambil
air wudu aku menunaikan salat magrib. Tepat selesai salam kedua, seseorang
mengetuk pintu. Tanpa membuka mukena terlebih dahulu, bergegas membukakan pintu
depan.
“Selamat malam. Apakah
benar ini dengan kediaman Bapak Priandra?” tanya salah satu dari dua orang yang
berdiri tegap di hadapanku.
“Be ... betul, saya
Vita, istrinya. Ada apa, ya?” jawabku balik bertanya.
“Kami dari kepolisian,
mohon maaf atas kabar yang akan kami sampaikan. Suami Ibu mengalami kecelakaan
di perempatan dekat sekolah putri Ibu, Pramita. Silakan Ibu ikut kami ke rumah
sakit,” papar orang itu menghentakkan jantungku.
“Innalillahi. Bagaimana
kondisi suami saya, Pak? Apakah suami saya bersama Pramita?”
“Betul, Bu. Bapak
Priandra mengalami kecelakaan setelah menjemput putri Ibu,” jawab petugas
kepolisian yang berpapan nama Budi itu.
“Apakah mereka selamat?”
Aku masih berusaha menanyakan kondisi suami dan putriku.
“Ibu bisa mengetahui
kondisi mereka setelah sampai di rumah sakit.”
Jadi, ini arti pelukanmu
tadi, Mas? Jadi, ini maksud pintamu padaku untuk mendoakanmu? Semoga kalian
baik-baik saja, Mas, Pram.
Lorong rumah sakit
begitu panjang kulalui. Usahaku menjajari langkah kedua petugas
kepolisian itu rasanya sia-sia. Lututku lemas tak bisa kuperintahkan untuk
berlari. Akhirnya, sampai juga di ruang unit gawat darurat.
Seorang dokter menemuiku
dan menjelaskan kondisi Pramita. Ia memintaku menandatangani surat persetujuan
atas tindakan medis pada Pramita. Tangisku pecah. Demi kebaikan dan kesembuhan
putriku, dengan berat hati aku tanda tangani surat itu.
“Saya mohon, tolong
selamatkan putri saya, Dok,” pintaku.
“Saya akan lakukan yang
terbaik, Bu,” jawab dokter tersebut dengan sungguh-sungguh.
Setelah
memastikan Pramita ditangani dengan baik, kedua petugas kepolisian dan seorang
perawat perempuan mengantarku ke sebuah ruangan lain di bagian belakang rumah
sakit ini untuk bertemu dengan Mas Pri-ku. Punggungku menegang saat kubaca nama
ruangan itu.
“Mungkin Bapak salah
mengajak saya ke sini? Di mana suami saya, Pak?” tanyaku pada salah satu
petugas kepolisian.
“Mohon maaf, Bu, suami
Ibu ada di dalam,” jawabnya pelan.
“Tidak mungkin!”
Kutatap mata perawat
yang berdiri di sebelahku. Ia pun hanya mengangguk lalu membukakan pintu
untukku.
Aku mundur, “Tidak, Sus.
Suami saya tidak ada di sana!”
“Mohon maaf, Bu. Ibu
yang sabar, ya.” Perawat itu memegang kedua tanganku.
Lututku yang sejak tadi
sudah lemah tak kuasa menopang lagi tubuhku. Aku menyerah. Pelan aku
melangkahkan kedua kaki dibantu perawat itu. Di dalam ruangan itu aku menemukan
suamiku.
Malam ini bukan hanya
hujan yang deras membasahi bumi tetapi juga air mataku. Kupeluk jasad Mas
Pri yang sudah tertutup kain kafan. Aku histeris. Duniaku runtuh seketika.
*
Dari celah pintu
kamarnya kulihat Pramitha menghadap jendela yang berkabut. Sejak kecil Pramita
selalu menikmati saat hujan turun. Mas Pri-lah yang mengenalkan Pramita pada
hujan. Saat itu Pramita baru menginjak usia satu tahun dan baru bisa berjalan.
Saat datang hujan, Mas Pri menggendong Pramita ke halaman dan menari
bersama. Hingga Pramita beranjak besar, “ritual” itu selalu mereka lakukan.
Aku hanya menjadi
penonton setia pertunjukan mereka. Aku akan sibuk menyiapkan handuk
bersih, pakaian ganti, minuman dan makanan hangat. Tentunya dengan teriakan
mengingatkan mereka agar tidak berlama-lama di bawah guyuran hujan. Setelah
semuanya selesai kami berpelukan. Saat-saat seperti itulah yang bisa menambah
kualitas ikatan hati kami bertiga.
Jika Mas Pri tidak ada
di rumah, Pramita tidak akan “tampil” sendirian. Ia cukup puas menikmati
rintik hujan hingga deras berpetir dari balik jendela kamar.
Sejak kepergian Mas Pri
satu tahun yang lalu, Pramita yang kini telah duduk di bangku sekolah menengah
atas lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. Kegiatan luarnya hanya
sekolah, berangkat dan pulang tepat waktu. Aku yang mengantar dan menjemputnya
kini. Pramita tenggelam dalam kebisuan buku bacaan dan catatannya. Kami jarang
mengobrol apalagi bercanda seperti dulu saat bersama Mas Pri.
Aku pun merasakan
kesedihan dan putus asa yang sama. Namun, melihat Pramita yang begitu terpuruk,
perlahan aku bangkit. Aku mencoba menata hidupku kembali. Aku tidak ingin kami
berdua berlama-lama dalam kedukaan. Aku yakin, Mas Pri tidak ingin melihat kami
bersedih berlarut-larut.
Selama satu tahun ini
aku tak berhenti berdoa dan berusaha mengembalikan semangat hidupnya. Akibat
kecelakaan itu, tulang betis kaki kanan Pramita hancur dan terpaksa harus
diamputasi sebatas lutut. Sudah jatuh tertimpa tangga, itulah yang ia alami.
Kehilangan ayah tercinta dan kaki kanan di saat bersamaan.
Kesedihan membuatnya
frustrasi dalam jangka waktu cukup lama. Binar kehidupan seolah redup
dari hatinya. Tatapan mata yang selalu kosong membuat luka hatiku semakin
dalam. Kehampaan menjalar di antara kami.
Pramita menolak untuk
bangun dari kursi rodanya. Ia menepiskan tongkat yang kusodorkan untuknya
belajar berjalan lagi. Ia menikmati luka dengan caranya sendiri. Dan aku tidak
berdaya memaksanya untuk kembali “hidup”.
“Ma,” Pramitha
memanggilku tepat saat aku berbalik hendak meninggalkan pintu kamarnya.
Kuurungkan langkah.
Perlahan kuhampiri Pramita yang menatapku dengan bola mata yang
membasah. Tangannya menggapai hendak memelukku. Kulingkarkan kedua lengan
di lehernya lalu kukecup lembut keningnya.
Kupikir Pramita akan
menangis, ternyata tidak. “Sepertinya hujan akan lama reda, Ma. Aku
lapar.”
Aku terkejut. Bukan
karena tidak biasanya Pramita meninggalkan hujan begitu saja untuk kegiatan
lain, tetapi karena baru kali ini ia bersikap wajar padaku.
“Pram mau makan
sekarang? Sebentar Mama ambilkan, ya.” Tidak ingin ia berubah pikiran,
aku langsung beranjak ke dapur mengambil makanan untuknya.
“Kita makan di meja
makan saja, Ma,” ajak Pramita.
“Siap,” balasku sambil
mengedipkan sebelah mata.
Betapa hatiku mulai
berbinar akhirnya Pramita mau makan dan mengajakku makan bersamanya. Syukurlah,
ia makan dengan lahapnya.
“Tumis jamur ini enak
sekali, lho, Ma. Nanti ajari aku memasaknya, ya.”
“Tentu saja, Sayang.
Nanti Mama ajari semua masakan yang ingin Pram makan,” jawabku.
Selesai makan, Pramita
berusaha membantuku membawa piring-piring kotor dan membawanya ke dapur.
Ditaruhnya tumpukan piring itu dipangkuannya. Kedua lengannya menggerakkan roda
agar kursi rodanya berjalan dengan baik menuju tempat cuci piring.
“Biarkan Mama yang cuci,
Pram,” cegahku.
“Enggak apa-apa, Ma.
Pram bisa, ko,” balasnya meyakinkan aku.
“Baiklah, hati-hati,
ya.”
Mataku berkaca-kaca
melihat kesungguhan Pramita. Ia berusaha keras menyelesaikan pekerjaan yang
memang ia sukai sejak kecil. Ia membuatku bangga. Lihatlah Pramita kini,
Mas. Ia mulai bangkit dari kesedihannya. Tengadah mukaku berharap Mas Pri
menyaksikan kami dari tempat-Nya.
Kutunggu Pramita sampai
selesai. Aku dorong kursi rodanya menuju kamar.
“Kita ke depan saja,
yuk, Ma,” ajaknya.
Kebahagianku semakin
menjadi. Aku berharap Pramita-ku sudah benar-benar kembali.
Kini, secercah asa
menelusuk perlahan dalam hatiku. Kami duduk di teras menikmati hujan yang mulai
berkurang derasnya.
“Ma.” Pramita menoleh
padaku.
“Iya, Sayang.” Tatapan
kami beradu.
“Aku kangen Papa.”
Kupegang tangannya dan
tersenyum. Tanpa bicara kami saling menguatkan.
“Ma,” ujarnya lagi.
“Iya, Sayang.”
“Izinkan aku
menari lagi di bawah hujan,” pintanya.
Pramita merentangkan
kedua tangannya. Menengadah menikmati setiap bulir hujan di wajahnya.
Kuizinkan Pramita menari lagi di bawah hujan, bersamaku.
***
(Sebuah Antologi Hujan, 2021)