Minggu, 12 Februari 2023

Izinkan Aku Menari Lagi di Bawah Hujan


“Aku berangkat dulu, Ta,” pamit Mas Pri.

Kucium tangannya seperti biasa jika suamiku akan bepergian. Namun sore ini aku merasakan sesuatu yang janggal pada sikapnya.  Lama ia menggenggam tanganku seolah enggan lepas  lalu menarikku dalam pelukannya.

“Eh, Mas, ....”

“Stt, biar kangen, nanti.” Aku pasrah dalam dekapan tubuh kekarnya. Menikmati debaran jantung yang tiba-tiba berdemo tidak karuan. Jarang-jarang pria dingin dan kalem  yang kunikahi hampir tujuh belas tahun bersikap romantis spontan seperti ini.

“Hm ... sudah ah pelukannya, nanti Mas terlambat menjemput Pram.”  Aku bergelinjang melepaskan diri dari pelukan Mas Pri. Mas Pri menepuk-nepuk kepalaku gemas.

Aku masih keheranan atas sikapnya saat akhirnya Mas Pri berangkat untuk menjemput Pramita di sekolahnya.  Kucoba menepiskan perasaan itu dengan mendoakannya. Rasanya mukaku masih merah menahan malu dan girang. 

Pramita mungkin sudah lama selesai jam tambahan pelajarannya dan kini sedang menunggu Mas Pri menjemputnya. Mas Pri selalu bersemangat antar-jemput putri semata wayangnya itu walaupun baru sebentar istirahat pulang dari pekerjaannya.  Memang tidak setiap hari ia melakukannya. Hanya pada hari-hari tertentu saja jika Pramita ada jam tambahan dari gurunya.

“Kita tak akan lama bersama Pram, Ta. Jadi, selagi ada kesempatan akan kugunakan  waktu untuknya sebaik mungkin. Cepat atau lambat kita akan berpisah dengannya.” Alasan Mas Pri selalu kuingat sampai detik ini.

“Hati-hati, Mas,” pesanku.

“Doakan aku, ya,” pintanya sambil mengacungkan jempol tangan kanan.

Kutatap punggung Mas Pri di atas sepeda motor dan akhirnya menghilang di ujung gang. Angin berembus perlahan menerbangkan debu-debu halus yang kuhalau masuk rumah dengan segera menutup pintu. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Aku akan memasak untuk makan malam nanti, masakan kesukaan Mas Pri dan Pramita tentunya.

Tak perlu waktu lama. Semua hidangan sudah tersaji dan siap disantap  di atas meja makan. Sambil menunggu Mas Pri dan Pramita pulang, aku  menonton televisi mungil di ruang tamu yang merangkap ruang keluarga. 

Prang.

Gelas yang isinya baru saja kuminum dan hendak kutaruh lagi di atas meja terjatuh. Refleks aku berdiri dan menginjak pecahan belingnya. Ceroboh sekali aku! Dengan berjinjit aku mengambil sapu dan lap pel untuk membereskan semuanya. Setelah itu barulah merawat luka di telapak kaki yang sepertinya tak seberapa dalam.

Langit mulai gelap, Mas Pri dan Pramita belum tiba di rumah. Biasanya sebelum  pukul lima mereka sudah kelihatan. Luka yang tadi baru terasa perih tapi coba kuabaikan.  Aku duduk di kursi teras sambil menyaksikan beberapa kendaraan roda dua yang lewat di depan rumah. Rumah kami berada di sebuah gang sempit dan  memiliki halaman  yang hanya cukup untuk parkir dua buah sepeda motor saja.

 Aku kembali memikirkan orang-orang yang kusayangi. Ke mana mereka? Karena hujan gang yang biasanya sore-sore begini diramaikan pula oleh celotehan bocah-bocah sudah sepi. Orang-orang sudah kembali berkumpul dalam kehangatan keluarganya. Hanya aku yang tersisa di luar. Menanti jantung-jantung hatiku dalam derai hujan yang belum mereda sejak sore. 

Aku mencoba menghubungi ponsel Mas Pri. Hanya nada sambung yang kudengar.  Begitu pula ponsel Pramita. Mungkin mereka tanggung masih di atas motor. Kukirimkan pesan ke ponsel Pramita, tak ada balasan. Perasaanku makin tidak karuan. Cukup lama mondar-mandir di teras sambil sesekali melihat ponsel, akhirnya kuputuskan masuk dan menunggu mereka di dalam rumah. 

 Setelah mengambil air wudu aku menunaikan salat magrib. Tepat selesai salam kedua, seseorang mengetuk pintu. Tanpa membuka mukena terlebih dahulu, bergegas membukakan pintu depan.

“Selamat malam. Apakah benar ini dengan kediaman Bapak Priandra?” tanya salah satu dari dua orang yang berdiri tegap di hadapanku.

“Be ... betul, saya Vita, istrinya. Ada apa, ya?” jawabku balik bertanya.

“Kami dari kepolisian, mohon maaf atas kabar yang akan kami sampaikan. Suami Ibu mengalami kecelakaan di perempatan dekat sekolah putri Ibu, Pramita. Silakan Ibu ikut kami ke rumah sakit,” papar orang itu menghentakkan jantungku.

“Innalillahi. Bagaimana kondisi suami saya, Pak? Apakah suami saya bersama Pramita?”

“Betul, Bu. Bapak Priandra mengalami kecelakaan setelah menjemput putri Ibu,” jawab petugas kepolisian yang berpapan nama Budi itu.

“Apakah mereka selamat?” Aku masih berusaha menanyakan kondisi suami dan putriku.

“Ibu bisa mengetahui kondisi mereka setelah sampai di rumah sakit.”

Jadi, ini arti pelukanmu tadi, Mas? Jadi, ini maksud pintamu padaku untuk mendoakanmu? Semoga kalian baik-baik saja, Mas, Pram.

Lorong rumah sakit begitu panjang kulalui. Usahaku  menjajari langkah kedua petugas kepolisian itu rasanya sia-sia. Lututku lemas tak bisa kuperintahkan untuk berlari. Akhirnya,  sampai juga di ruang unit gawat darurat.

Seorang dokter menemuiku dan menjelaskan kondisi Pramita. Ia memintaku menandatangani surat persetujuan atas tindakan medis pada Pramita. Tangisku pecah. Demi kebaikan dan kesembuhan putriku, dengan berat hati aku tanda tangani surat itu. 

“Saya mohon, tolong selamatkan putri saya, Dok,” pintaku.

“Saya akan lakukan yang terbaik, Bu,” jawab dokter tersebut dengan sungguh-sungguh.

  Setelah memastikan Pramita ditangani dengan baik, kedua petugas kepolisian dan seorang perawat perempuan mengantarku ke sebuah ruangan lain di bagian belakang rumah sakit ini untuk bertemu dengan Mas Pri-ku. Punggungku menegang saat kubaca nama ruangan itu. 

“Mungkin Bapak salah mengajak saya ke sini? Di mana suami saya, Pak?” tanyaku pada salah satu petugas kepolisian.

“Mohon maaf, Bu, suami Ibu ada di dalam,” jawabnya pelan.

“Tidak mungkin!”

Kutatap mata perawat yang berdiri di sebelahku. Ia pun hanya mengangguk lalu membukakan pintu untukku.    

Aku mundur, “Tidak, Sus. Suami saya tidak ada di sana!”

“Mohon maaf, Bu. Ibu yang sabar, ya.” Perawat itu memegang kedua tanganku.

Lututku yang sejak tadi sudah lemah tak kuasa menopang lagi tubuhku. Aku menyerah. Pelan aku melangkahkan kedua kaki dibantu perawat itu. Di dalam ruangan itu aku menemukan suamiku.

Malam ini bukan hanya hujan yang deras membasahi bumi  tetapi juga air mataku. Kupeluk jasad Mas Pri yang sudah tertutup kain kafan. Aku histeris. Duniaku runtuh seketika.

*

Dari celah pintu kamarnya kulihat Pramitha menghadap jendela yang berkabut. Sejak kecil Pramita selalu menikmati saat hujan turun. Mas Pri-lah yang mengenalkan Pramita pada hujan. Saat itu Pramita baru menginjak usia satu tahun dan baru bisa berjalan. Saat datang hujan, Mas Pri menggendong  Pramita ke halaman dan menari bersama. Hingga Pramita beranjak besar, “ritual” itu selalu mereka lakukan.

Aku hanya menjadi penonton setia pertunjukan mereka. Aku akan sibuk menyiapkan  handuk bersih, pakaian ganti, minuman dan makanan hangat. Tentunya dengan teriakan mengingatkan mereka agar tidak berlama-lama di bawah guyuran hujan. Setelah semuanya selesai kami berpelukan. Saat-saat seperti itulah yang bisa menambah kualitas ikatan hati kami bertiga.

Jika Mas Pri tidak ada di rumah, Pramita tidak akan “tampil” sendirian. Ia cukup puas menikmati  rintik hujan hingga deras berpetir dari balik  jendela kamar. 

Sejak kepergian Mas Pri satu tahun yang lalu, Pramita yang kini telah duduk di bangku sekolah menengah atas lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. Kegiatan luarnya hanya sekolah, berangkat dan pulang tepat waktu. Aku yang mengantar dan menjemputnya kini. Pramita tenggelam dalam kebisuan buku bacaan dan catatannya. Kami jarang mengobrol apalagi bercanda seperti dulu saat bersama Mas Pri. 

Aku pun merasakan kesedihan dan putus asa yang sama. Namun, melihat Pramita yang begitu terpuruk, perlahan aku bangkit. Aku mencoba menata hidupku kembali. Aku tidak ingin kami berdua berlama-lama dalam kedukaan. Aku yakin, Mas Pri tidak ingin melihat kami bersedih berlarut-larut.

Selama satu tahun ini aku tak berhenti berdoa dan berusaha mengembalikan semangat hidupnya. Akibat kecelakaan itu, tulang betis kaki kanan Pramita hancur dan terpaksa harus diamputasi sebatas lutut. Sudah jatuh tertimpa tangga, itulah yang ia alami. Kehilangan ayah tercinta dan kaki kanan di saat bersamaan. 

Kesedihan membuatnya frustrasi dalam jangka waktu cukup  lama. Binar kehidupan seolah redup dari hatinya. Tatapan mata yang selalu kosong membuat luka hatiku semakin dalam. Kehampaan menjalar di antara kami. 

Pramita menolak untuk bangun dari kursi rodanya. Ia menepiskan tongkat yang kusodorkan untuknya belajar berjalan lagi. Ia menikmati luka dengan caranya sendiri. Dan aku tidak berdaya memaksanya untuk kembali “hidup”. 

“Ma,” Pramitha memanggilku tepat saat aku berbalik hendak meninggalkan pintu kamarnya.

Kuurungkan langkah. Perlahan kuhampiri Pramita  yang menatapku dengan bola mata yang membasah.  Tangannya menggapai hendak memelukku. Kulingkarkan kedua lengan di lehernya lalu kukecup lembut keningnya. 

Kupikir Pramita akan menangis, ternyata tidak. “Sepertinya hujan akan lama reda, Ma. Aku lapar.” 

Aku terkejut. Bukan karena tidak biasanya Pramita meninggalkan hujan begitu saja untuk kegiatan lain, tetapi karena baru kali ini ia bersikap wajar padaku.

“Pram mau makan sekarang? Sebentar Mama ambilkan, ya.” Tidak ingin ia berubah pikiran,  aku langsung beranjak ke dapur mengambil makanan untuknya.

“Kita makan di meja makan saja, Ma,” ajak Pramita. 

“Siap,” balasku sambil mengedipkan sebelah mata.

Betapa hatiku mulai berbinar akhirnya Pramita mau makan dan mengajakku makan bersamanya. Syukurlah, ia makan dengan  lahapnya. 

“Tumis jamur ini enak sekali, lho, Ma. Nanti ajari aku memasaknya, ya.” 

“Tentu saja, Sayang. Nanti Mama ajari semua masakan yang ingin Pram makan,” jawabku.

Selesai makan, Pramita berusaha membantuku membawa piring-piring kotor dan membawanya ke dapur. Ditaruhnya tumpukan piring itu dipangkuannya. Kedua lengannya menggerakkan roda agar kursi rodanya berjalan dengan baik menuju tempat cuci piring.

“Biarkan Mama yang cuci, Pram,” cegahku.

“Enggak apa-apa, Ma. Pram bisa, ko,” balasnya meyakinkan aku. 

“Baiklah, hati-hati, ya.”

Mataku berkaca-kaca melihat kesungguhan Pramita. Ia berusaha keras menyelesaikan pekerjaan yang memang ia sukai sejak kecil.  Ia membuatku bangga. Lihatlah Pramita kini, Mas. Ia mulai  bangkit dari kesedihannya. Tengadah mukaku berharap Mas Pri menyaksikan kami dari tempat-Nya.

Kutunggu Pramita sampai selesai. Aku dorong kursi rodanya menuju kamar. 

“Kita ke depan saja, yuk, Ma,” ajaknya.

Kebahagianku semakin menjadi. Aku berharap Pramita-ku sudah benar-benar kembali. 

Kini, secercah asa menelusuk perlahan dalam hatiku. Kami duduk di teras menikmati hujan yang mulai berkurang derasnya.

“Ma.” Pramita menoleh padaku.

“Iya, Sayang.” Tatapan kami beradu.

“Aku kangen Papa.” 

Kupegang tangannya dan tersenyum. Tanpa bicara kami saling menguatkan.

“Ma,” ujarnya lagi.

“Iya, Sayang.”

 “Izinkan aku menari lagi di bawah hujan,” pintanya.

Pramita merentangkan kedua tangannya. Menengadah menikmati  setiap bulir hujan di wajahnya. Kuizinkan Pramita menari lagi di bawah hujan,  bersamaku.

***

(Sebuah Antologi Hujan, 2021)

 

 

 

 

 




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar