Sebenarnya sudah lama kami menempati ruangan ini yang sekarang menjadi ruang guru, tetapi rasanya kami selalu asing di sini. Menjadi ruangan paling belakang di sekolah ini mengakibatkan ada rasa enggan singgah di sini walau untuk sekadar duduk-duduk atau bercengkrama dengan rekan sejawat. Entahlah. Kelas-kelas yang kuampu berada di gedung paling depan, makanya aku paling jarang menjejakkan langkah ke bagian belakang sekolah ini. Terlebih lagi ruangan yang paling nyaman berada di bagian depan. Perpustakaan. Ya, perpustakaan adalah tempat yang sering kukunjungi. Selain untuk membaca dan tempat menuangkan ide, aku juga sering berbagi kisah dan pengalaman dengan kepala perpustakaan yang merupakan salah satu guru senior di sekolah ini, juga dengan pustakawannya yang kece, Bu Andriani, yang usianya hampir sama denganku. Perpustakaan juga tempat berdiskusi atau sekadar mendengarkan curahan hati peserta didikku.
Aku termasuk guru yang belum lama mengabdi di sekolah favorit ini. Sejak berencana kembali ke kampung halaman, sekolah ini memang sudah menjadi salah satu tujuanku. Walau ada beberapa bangunan yang terlihat sudah cukup tua, namun kondisinya masih terawat baik. Berbagai fasilitas sarana pendidikan tersedia di sini. Aku tidak bisa membandingkan dengan tempat tugasku di ibukota dulu, karena memang profilnya berbeda. Dengan kondisi kehidupan ibukota yang “panas”, aku harus mencari kenyamanan hati dan fisik tersendiri, kalau perlu berkamuflase. Kini, di sekolah ini, aku juga masih harus beradaptasi dengan segala hal. Termasuk dengan hal-hal yang mungkin tak terduga sebelumnya.
Tiga tahun lalu aku ditugaskan mengampu kelas sepuluh. Aku senang karena mereka terlihat sangat manis. Sekolah kejuruan yang mayoritas anak perempuan, membuat sisi keibuanku lebih terasah. Aku senang mereka merasa dekat denganku, tak sungkan untuk menceritakan segala keluh kesah, suka duka, bahkan cita-cita mereka. Aku mencoba bersikap adil memperlakukan mereka. Termasuk pada gadis manis bernama Rose.
Untuk anak perempuan yang baru masuk sekolah menengah atas, Rose terlihat lebih matang dibandingkan teman-temannya. Sisi kekanak-kanakkannya masih terlihat saat ia tersenyum manja. Rose berperawakan tinggi, berkulit putih bersih, rambut tergerai hitam sepunggung, bibir yang selalu merona alami tanpa pemoles. Rose selalu menemaniku di perpustakaan saat waktu istirahat atau jam kosongku. Dia selalu tampil ceria berbeda ketika berada di kelas. Selama pembelajaran di kelas Rose terlihat sangat serius menyimak dan mengikuti pembelajaran. Saat ada kegiatan kelompokpun, Rose tak terlalu aktif seperti teman-temannya. Namun, aku mengabaikan perbedaan sikap Rose ini. Bagiku yang terpenting, Rose selalu menunjukkan sikap baik. Mungkin aku salah, tapi itulah yang kupikirkan.
“Bu, kenapa ibu suka menyendiri di perpustakaan?” tanya Rose suatu hari.
“Kenapa kamu bertanya hal itu?” jawabku balik bertanya.
“Enggak apa-apa, Bu,” jawabnya lalu kembali fokus pada bacaannya.
Hari itu aku sedang menyelesaikan administrasi penilaian guru, kebetulan penilaiku Ibu Nur, kepala perpustakaan, jadi tak ambil pusing dengan pertanyaan Rose.
“Maaf, ya, Rose, Ibu tinggal dulu sebentar,” kataku padanya.
Rose hanya mengangguk pelan.
Tak berapa lama, aku kembali ke tempat kami tadi mengobrol. Tak kutemukan Rose. Padahal jam masuk kembali ke kelas masih lima menit lagi. Kucoba tanyakan hal itu pada Bu Andriani.
“Enggak ada siapa-siapa ko, di lorong itu, mungkin sudah kembali ke kelas,” jawabnya sambil menatapku.
Lorong yang dimaksud adalah deretan rak di bagian belakang ruang perpustakaan yang biasa aku dan Rose tempati kalau sedang di sana. Bu Andriani sudah paham betul kebiasaanku di lorong itu.
“Oh, Oke,” jawabku lagi.
Kebetulan aku masuk pelajaran di kelas Rose. Tak kutemukan dia di sana. Ke mana anak itu?. Sampai jam pelajaran berakhir, Rose tak muncul di kelas.
Seminggu berlalu. Aku masih belum bertemu Rose. Minggu ini memang sedikit menguras waktu dan tenaga. Berbagai tuntutan pekerjaan selain mengajar di kelas harus segera selesai. Aku pun sedikit melupakan Rose. Sesekali aku melihat Rose melintas di dekatku tapi kubiarkan dia berlalu karena tanggung. Berbagai tuntutan deadline ini membuatku terpakasa mengalihkan tempat kerja ke ruang guru. Di sana aku dan beberapa rekan bisa bekerja sama menyelesaikan pekerjaan.
“Wah, Bu Naya kemana saja? Tuh mejanya sampai berdebu, hehe,” tanya Bu Dian sambil berseloroh.
“Iya, nih, Bu Naya, kami merasa kehilangan lho,” sambung Bu Tia.
Aku hanya tersenyum mendengar semua itu. Aku yakin mereka tak bermaksud buruk. Hubunganku dengan mereka pun baik selama ini. Kami pun masih berkomunikasi via whatsApp. Ternyata Rose sudah menungguku. Dia duduk di sebelah kursi yang biasa kududuki, tapi dia tetap diam saat aku tiba di sampingnya.
“Lho, kamu di sini. Jam pelajaran apa sekarang?” tanyaku.
“Iya, Bu,” jawabnya pelan.
Akhirnya kubiarkan saja dia duduk menemani sampai akhir jam pelajaran.
“Ibu ke kamar mandi dulu lalu nanti pulang,” ucapku pada Rose yang dijawab dengan anggukan.
Aku kembali ke ruang guru dan Rose sudah tak di sana. Aku pun bersiap pulang.
Keesokan harinya, di ruang Guru Bu Tia menghampiriku dengan wajah seriusnya.
“Bu Naya, ada yang ingin saya tanyakan pada Ibu,” kata Bu Tia.
“Iya, Bu, baik,” jawabku.
“Kemarin Ibu sedang membereskan berkas administrasi atau sedang menulis cerpen?” tanya Bu Tia.
“Memangnya kenapa, Bu?” tanyaku balik.
“Ya, kalau memang Bu Naya sedang menulis cerpen kan memang suka senyum-senyum atau bicara sendiri. Saya suka memperhatikan Ibu kan, tapi kalau sedang membereskan berkas ko bisa sambil bicara sendiri?!” jawab Bu Tia.
“Oh, iya Bu, kemarin kan kita membereskan berkas untuk dikumpulkan, terus ada anak yang datang menemani saya Bu, ya kami mengobrol sebentar ko,” jawabku.
“Ah, masa. Saya enggak melihat ada anak menemani Ibu,” lanjut Bu Tia.
“Mungkin pada saat Bu Tia melihat ke arah saya, anak itu sudah kembali ke kelas, Bu,” jawabku.
“Oh, bisa jadi,” lanjut Bu Tia sambil masih mengerutkan keningnya.
Aku tersenyum sambil berpamitan ke arah mejaku. Setelah itu, Bu Tia menghampiri Bu Dian dan terlihat mereka mengobrol berbisik-bisik sambil sesekali memandangku. Entah apa yang mereka bicarakan, semoga saja yang baik-baik.
Istirahat kedua aku dan bu Andriani makan siang bersama di kantin. Sekilas kulihat Rose di dekat kantin jus buah. Tatapannya kosong ke arahku. Baru saja aku ingin memenggilnya, Wina menyapa kami.
“Bu Naya, Bu Andriani, nanti saya mau meminjam buku ensiklopedi alam semesta, boleh?”
“Boleh baca di perpustakaan saja, Win,” jawab Bu Andriani.
“Oh, baiklah, Bu, nanti saya ke sana,” lanjut Wina lalu berpamitan.
Aku menolehkan kepala ke arah Rose berdiri. Kemana dia?
“Ada apa, Bu?” tanya Bu Andriani.
“Saya cari anak, Bu, tapi dia di situ sekarang enggak ada,” jawabku sambil tersipu.
“Siapa?” lanjut Bu Andriani.
“Itu, yang suka menemui saya,” jawabku.
“Yang sering menemui Ibu di perpustakaan kan, Anne,” ucap Bu Andriani.
“Bukan, Rose,” jawabku.
“Rose? Rose yang mana ya? Rosiana atau Rosita, Bu?” tanya Bu Andriana terkejut.
“Rose Nada.”
“Apa?’
Aku ikut terkejut dan serentak ikut berdiri bersama Bu Andriani. Muka Bu Andriani pucat pasi.
“Ayo ikut saya, Bu,” ajaknya sambil menarik tanganku.
Setibanya di perpustakaan, Bu Andriani mengambil buku di deretan buku kenangan sekolah. Setelah menyerahkan sebuah buku kenangan tahun 2000 padaku, Bu Andriani membuka halaman tengah dan menunjukkan sebuah foto. Foto gadis manis berambut hitam panjang dan berbibir merah merona alami. Rose Nada.
“Ya, Allah, Bu, ini Rose yang saya maksud, tapi ..., “ kataku terputus.
“Iya, Bu Naya, ini Rose Nada, angkatan tahun 2000. Buku kenangan ini seperti biasa akan dibagikan pada saat perpisahan kelas XII tapi Rose Nada enggak pernah sampai di acara itu. Sebuah truk menyeruduk mobil yang ditumpangi bersama orang tuanya. Mereka meninggal di tempat kejadian,” jelas Bu Andriani yang membuatku luruh dan meneteskan air mata.
“Jadi, selama ini ...,” kembali tercekat kata-kataku di tenggorokan.
“Iya, Bu, Rose Nada memang suka menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan, seperti halnya Ibu,” lanjut Bu Andriani sambil mengelus punggungku.
“Iya, Bu, terima kasih,” pungkasku karena tak sanggup lagi berkata-kata.
Sudut mataku menangkap siluet sosok Rose berdiri menatapku sambil tersenyum menghilang perlahan.
Sumedang, 28 November 2019 10:45