Jurnal
Refleksi Dwimingguan (7) Modul 2.3
Coaching untuk Supervisi Akademik ini saya tulis sebagai salah satu media atau
ruang untuk menuangkan perasaan, gagasan dan pengalaman serta praktik baik yang
telah saya dilakukan dengan memilih model refleksi Model 1: 4F (Facts,
Feelings, Findings, Future).
Jurnal
ini merupakan bagian refleksi pembelajaran dan aktivitas yang telah dilakukan
di Learning Management System (LMS). Pada dua minggu ini ada beberapa aktivitas pembelajaran yaitu
diawali dengan mengerjakan Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik.
Kegiatan
awal yang saya lakukan pada Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik yaitu
saya melakukan aktivitas LMS dengan melewati tahapan alur MERDEKA yang dimulai
dari tahapan Mulai dari Diri pada hari Selasa tanggal 25 September 2022 dan
dilanjutkan Eksplorasi Konsep pada hari berikutnya yaitu tanggal 26 september 2022.
Pada
tanggal 27 September 2022 saya menggunggah tugas Ruang Kolaborasi. Tugas
Demonstrasi Kontekstual dapat saya selesaikan pada tanggal 6 Oktober 2022. Pertemuan tatap maya dengan Instruktur
dilakukan pada hari Selasa tanggal 4 Oktober 2022 bersama Instruktur Esti Tyaswening.
Saya
menyelesaikan tugas Koneksi Antarmateri Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi
Akademik pada tanggal 6 Oktober 2022. Pelaporan Tugas Aksi Nyata Modul 2.3
Coaching untuk Supervisi Akademik akan berakhir pada tanggal 26 Oktober 2022.
Saat
mengikuti aktivitas memahami dan berdiskusi mengenai materi Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik
ini saya mulai memahami tentang makna coaching dan bagaimana penerapannya
dengan tahapan TIRTA dan juga terdapat akronim lain seperti mendengarkan dengan
RASA yang merupakan sebuah teknik/metode dalam menerapkan prisip coaching.
Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang
berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi
peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan
pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999). Sedangkan
Whitmore (2003) mendefinisikan coaching sebagai kunci
pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih
kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya. Sejalan dengan
pendapat para ahli tersebut, International Coach Federation (ICF) mendefinisikan coaching sebagai“…bentuk
kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan
potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang
menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.”
Supervisi akademik memiliki tujuan untuk mengevaluasi
kompetensi mengajar guru dan proses belajar di kelas. Pertanyaannya, apakah
kita bisa mengevaluasi dan juga sekaligus memberdayakan? Costa dan Garmston
(2016) menyampaikan bahwa kita bisa memberdayakan guru melalui coaching,
kolaborasi, konsultasi, dan evaluasi, yang interaksinya bergantung kepada
tujuan dan hasil yang diharapkan. Namun, posisi awal yang kita ambil adalah
posisi sebagai seorang coach, sebelum kita mengetahui tujuan dan hasil yang
diharapkan oleh guru yang akan kita berdayakan. Oleh sebab itu, prinsip dan
paradigma berpikir coaching ini perlu selalu ada sebelum kita memberdayakan
seseorang.
Pada
modul ini banyak pengetahuan dan pengalaman baru yang saya dapatkan melalui Modul
2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik yang dapat saya terapkan untuk murid dan
rekan sejawat.
Bukti
nyata bagaimana seorang guru harus membangun karekter murid salah satunya
dengan penerapan pembelajaran sosial emosional yang telah dipahami pada materi
modul sebelumnya juga memanfaatkan prinsip coaching dalam upaya mengarahkan
peserta didik untuk menemukenali potensi diri dan mengembangkannya sehingga
dapat menjadi pribadi yang potensial dan lebih baik lagi dari sebelumnya.
Pembelajaran
sosial emosional dapat pula dikolaborasikan dengan pembelajaran berdiferensiasi
agar lebih maksimal untuk menghadirkan pelayanan yang optimal pada murid sesuai
denga prinsip amor menurut Ki Hajar Dewantara.
Setelah memahami
bagaimana paradigma berpikir dan prinsiap yang dibutuhkan agar dapat
menjalankan percakapan coaching saya juga belajar memahami kompetensi inti dalam
coaching.
Berdasarkan ICF (International
Coaching Federation) ada 8 kompetensi inti namun untuk kebutuhan Pendidikan
Guru Penggerak, kita mempelajari 3 kompetensi inti yang penting dipahami,
diterapkan, dan dilatih secara terus menerus saat melakukan percakapan coaching kepada
teman sejawat di sekolah.
Kompetensi inti coaching:
- Kehadiran Penuh/Presence
- Mendengarkan
Aktif
- Mengajukan
Pertanyaan Berbobot
- Memberdayakan
Coachee
Saya
banyak menemukan wawasan baru yang sangat bermanfaat untuk aktivitas saya
sebagai seorang pendidik apalagi saat ini kami mulai menyelami Modul 2.3
Coaching untuk Supervisi Akademik yang pada akhirnya sebagai pembelajaran untuk
menjadi pemimpin pembelajaran yang diharapkan mampu mengimplementasikan prinsip
coaching. Setelah mengakhiri praktik pembelajaran yang berpihak pada murid pada
paket Modul 2 ini saya optimis menjadi pribadi lebih mantap dan siap
menuju masa depan dengan memahami konsep untuk menjadi pemimpin pembelajaran
yang dapat mewujudkan peserta didik yang memiliki dimensi-dimensi Profil
Pelajar Pancasila.***
*) Penulis adalah Calon Guru
Penggerak Angkatan 5 dan seorang pendidik pengampu mata pelajaran Bahasa
Indonesia di SMKN 2 Sumedang, Jawa Barat

Tidak ada komentar:
Posting Komentar