Jumat, 07 Oktober 2022

JURNAL REFLEKTIF 7: Coaching untuk Supervisi Akademik

 


Jurnal Refleksi Dwimingguan (7)  Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik ini saya tulis sebagai salah satu media atau ruang untuk menuangkan perasaan, gagasan dan pengalaman serta praktik baik yang telah saya dilakukan dengan memilih model refleksi Model 1: 4F (Facts, Feelings, Findings, Future).

Jurnal ini merupakan bagian refleksi pembelajaran dan aktivitas yang telah dilakukan di Learning Management System (LMS). Pada dua minggu ini  ada beberapa aktivitas pembelajaran yaitu diawali dengan mengerjakan Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik.

 1. Facts (Peristiwa)

Kegiatan awal yang saya lakukan  pada Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik yaitu saya melakukan aktivitas LMS dengan melewati tahapan alur MERDEKA yang dimulai dari tahapan Mulai dari Diri pada hari Selasa tanggal 25 September 2022 dan dilanjutkan Eksplorasi Konsep pada hari berikutnya yaitu  tanggal 26 september 2022.

Pada tanggal 27 September 2022 saya menggunggah tugas Ruang Kolaborasi. Tugas Demonstrasi Kontekstual dapat saya selesaikan pada tanggal 6 Oktober 2022.  Pertemuan tatap maya dengan Instruktur dilakukan pada hari Selasa tanggal 4 Oktober 2022 bersama Instruktur Esti Tyaswening.

Saya menyelesaikan tugas Koneksi Antarmateri Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik pada tanggal 6 Oktober 2022. Pelaporan Tugas Aksi Nyata Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik akan berakhir pada tanggal 26 Oktober 2022.

 2. Feelings (Perasaan)

Saat mengikuti aktivitas memahami dan berdiskusi mengenai materi  Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik ini saya mulai memahami tentang makna coaching dan bagaimana penerapannya dengan tahapan TIRTA dan juga terdapat akronim lain seperti mendengarkan dengan RASA yang merupakan sebuah teknik/metode dalam menerapkan prisip coaching.

Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999). Sedangkan Whitmore (2003) mendefinisikan coaching sebagai kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya. Sejalan dengan pendapat para ahli tersebut, International Coach Federation (ICF) mendefinisikan coaching sebagai“…bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.” 

Supervisi akademik memiliki tujuan untuk mengevaluasi kompetensi mengajar guru dan proses belajar di kelas. Pertanyaannya, apakah kita bisa mengevaluasi dan juga sekaligus memberdayakan? Costa dan Garmston (2016) menyampaikan bahwa kita bisa memberdayakan guru melalui coaching, kolaborasi, konsultasi, dan evaluasi, yang interaksinya bergantung kepada tujuan dan hasil yang diharapkan. Namun, posisi awal yang kita ambil adalah posisi sebagai seorang coach, sebelum kita mengetahui tujuan dan hasil yang diharapkan oleh guru yang akan kita berdayakan. Oleh sebab itu, prinsip dan paradigma berpikir coaching ini perlu selalu ada sebelum kita memberdayakan seseorang. 

 3. Findings (Pembelajaran)

Pada modul ini banyak pengetahuan dan pengalaman baru yang saya dapatkan melalui Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik yang dapat saya terapkan untuk murid dan rekan sejawat.

Bukti nyata bagaimana seorang guru harus membangun karekter murid salah satunya dengan penerapan pembelajaran sosial emosional yang telah dipahami pada materi modul sebelumnya juga memanfaatkan prinsip coaching dalam upaya mengarahkan peserta didik untuk menemukenali potensi diri dan mengembangkannya sehingga dapat menjadi pribadi yang potensial dan lebih baik lagi dari sebelumnya.

Pembelajaran sosial emosional dapat pula dikolaborasikan dengan pembelajaran berdiferensiasi agar lebih maksimal untuk menghadirkan pelayanan yang optimal pada murid sesuai denga prinsip amor menurut Ki Hajar Dewantara.

 4. Future (Penerapan)

Setelah memahami bagaimana paradigma berpikir dan prinsiap yang dibutuhkan agar dapat menjalankan percakapan coaching saya juga  belajar memahami kompetensi inti dalam coaching.

Berdasarkan ICF (International Coaching Federation) ada 8 kompetensi inti namun untuk kebutuhan Pendidikan Guru Penggerak, kita mempelajari  3 kompetensi inti yang penting dipahami, diterapkan, dan dilatih secara terus menerus saat melakukan percakapan coaching kepada teman sejawat di sekolah.

Kompetensi inti coaching:


  1. Kehadiran Penuh/Presence
  2. Mendengarkan Aktif
  3. Mengajukan Pertanyaan Berbobot
  4. Memberdayakan Coachee

Saya banyak menemukan wawasan baru yang sangat bermanfaat untuk aktivitas saya sebagai seorang pendidik apalagi saat ini kami mulai menyelami Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik yang pada akhirnya sebagai pembelajaran untuk menjadi pemimpin pembelajaran yang diharapkan mampu mengimplementasikan prinsip coaching. Setelah mengakhiri praktik pembelajaran yang berpihak pada murid pada paket  Modul 2 ini saya optimis menjadi pribadi lebih mantap dan siap menuju masa depan dengan memahami konsep untuk menjadi pemimpin pembelajaran yang dapat mewujudkan peserta didik yang memiliki dimensi-dimensi Profil Pelajar Pancasila.***

*) Penulis adalah Calon Guru Penggerak Angkatan 5 dan seorang pendidik pengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMKN 2 Sumedang, Jawa Barat

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar