Senin, 17 Oktober 2022

Terjebak Nostalgia

 


Kami meninggalkan Stasiun Bandung tepat saat matahari sudah terbit sempurna dengan kereta pertama. Aku mencoba mengatur debar jantung yang tak karuan bahkan sejak dua malam yang lalu ketika Langit menyampaikan isi hatinya padaku.

Memang sudah lama aku mengetahui hubungan Langit dengan seorang gadis. Hampir setiap akhir pekan Langit menceritakan gadis pujaan hatinya tersebut padaku. Namun, tak kusangka ia akan secepat itu bermaksud serius dengan gadis yang berasal dari kota yang sama dengan kota kelahiranku, Sumedang.

“Pah, Langit tahu sudah sudah lama sekali Papah tidak pernah kembali ke Sumedang tapi kali ini Langit mohon sama Papah. Langit mohon izin untuk bertemu Ra dan keluarganya di Sumedang akhir minggu ini,” ucap Langit memohon padaku.

Kuhela napas panjang sebelum menjawabnya, “Baiklah, Nak. Lusa kita ke sana.”

Langit memelukku erat sambil mengucapkan terima kasih. Kutinggalkan Langit di ruang tengah saat menelpon Ra. Kutatap kerlip lampu Kota Bandung yang tak pernah padam. Anganku berputar seolah ingin mendahului lusa.

Sebenarnya bukan hal yang sulit untukku untuk pergi ke Sumedang. Jarak Bandung-Sumedang kini semakin dekat. Selain akses jalan tol Cisumdawu yang sudah lancar memperpendek jarak tempuh, kini ada jalur kereta juga yang menghubungkan Sumedang-Bandung. Namun, perasaan berat atas masa lalu yang membuat langkahku berat hingga akhirnya aku menetap di ibukota provinsi ini.

Langit memilih kereta  sebagai moda transportasi kami ke Sumedang untuk menemui Ra dan keluarganya. Ia sengaja tidak membawa mobil dengan alasan ingin menikmati perjalanan tanpa harus fokus ke jalan. Kuikuti saja keinginannya sekaligus penasaran perjalanan seperti apa yang akan kutemukan.

Perjalanan kereta api cepat Bandung-Sumedang hanya memakan waktu sekitar 15 menit saja. Meskipun kereta api cepat tetapi kami masih bisa menikmati pemandangan alam yang  indah sepanjangan perjalanan. Melewati bukit dan perumahan di kejauhan, jantungku kian berdetak kencang. Entahlah, kenapa begitu sulit kuredakan debaran ini.

Tanpa terasa, kami telah tiba di Stasiun Jatihurip Sumedang saat pagi menggeliat menyambut hari Sabtu. Keluar dari gerbang stasiun kami sudah disambut oleh pengemudi taksi daring yang sudah dipesan Langit.

Taksi yang kami tumpangi berjalan pelan tapi pasti membelah kota yang membuatku terpana.

“Wah, sudah banyak perubahan, rupanya,” gumamku.

“Sumedang banyak berubah, ya, Pah?” sambar Langit seolah memahami maksudku.

Sebelum kujawab pertanyaan Langit yang sebenarnya tak perlu kuulang, sopir taksi mendahuluiku.

“Betul, Mas, Pa. Sumedang sekarang sudah benar-benar “ngota”.”

“Maksudnya “ngota” apa, ya, Pak?” tanya Langit.

“Iya, Sumedang seperti sudah jadi kota besar, Mas. Seperti tadi Mas dan Bapak dari stasiun kereta. Dulu mana ada kereta lewat kota ini. Jalan tol juga udah bagus, mobil dari luar Sumedang  langsung masuk kota tanpa harus lewat Cadas Pangeran.”

“Oh, iya, Pak, betul,” balas Langit sambil manggut-manggut. Kulihat ia setuju dengan pernyataan Langit karena beberapa kali menemui Ra di Sumedang  telah melewati berbagai jalan akses dan moda transportasi yang berbeda.

Aku hanya menyimak percakapan Langit dan sopir taksi yang kulihat dari kartu identitas di atas dashboard-nya bernama Rama itu. Ya, memang banyak perubahan kulihat. Sepanjang perjalanan dari stasiun kereta tadi banyak kulihat gedung-gedung bertingkat yang digunakan untuk perkantoran maupun bisnis. Ada beberapa mall juga yang berdiri megah di sepanjang jalan besar yang membelah pusat kota ini.

Rama pun menceritakan tentang Bendungan Jatigede yang sudah mudah dapat diakses dengan berbagai moda transportasi. Begitu pula jika ingin ke Bandara Kertajati, sekarang dapat ditempuh dengan waktu yang tidak terlalu lama. Tidak ketinggalan jalan-jalan yang menghubungkan kota dengan kecamatan, kecamatan ke desa-desa, sampai ke pelosok  kampung dan perbatasan wilayah terluar kabupaten.

Mayoritas desa-desa di Sumedang sudah mandiri dalam pengelolaan manajemen maupun ekonomi masyarakatnya. Didukung pula dengan jejaring infrastruktur baik fisik maupun digital.

Aku menyimak penjelasan Rama yang lumayan panjang lebar tentang perkembangan kota kelahiranku ini. Ah, seandainya aku tetap menetap di sini, akan kunikmati semua perubahan dan perkembangan kota ini dengan langsung. Selama ini aku memang selalu mengikuti perkembangan Sumedang melalui pemberitaan di media daring. Aku bangga dengan perubahan dan perkembangan kotaku yang melesat ini.

“Iya, benar, Mas. Sejak masa pemerintahan Pak Bupati Dony Ahmad Munir, kota ini berkembang sangat pesat,”  ucap Rama yang diaminkan Langit hampir bersamaan dengan anggukan kepalaku.

“Padahal di awal masa jabatannya, sempat terhadang pandemik virus Covid 19 tetapi Pak Bupati beserta jajarannya tetap melakukan pembangunan di berbagai bidang. Saya saat itu masih sekolah tapi melihat jejak pembangunan beliau sungguh luar biasa sampai sampai saat ini,” lanjut Rama.

Aku setuju dengan Rama. Rasa bangga akan kampung halaman selalu aku rasakan walaupun selama ini aku selalu merasa berat untuk kembali ke sini, kecuali hari ini. Demi putra semata wayangku yang kubesarkan dengan segenap jiwa sejak ia lahir dan langsung kehilangan ibu kandungnya.

Hf, jantungku rasanya melesak ketika taksi melewati sekolah almamaterku sebelum akhirnya berbelok ke arah selatan pusat kota. Sekolahku dulu yang kini sudah berubah rupa menjadi jejeran gedung sekolah bertingkat lima itu kian megah di mataku.

“Pah, itu SMA Papah, kan?”

Karena aku terdiam, Rama juga ikut bertanya padaku,”Bapak alumni SMA 1 juga? Angkatan berapa? Saya angkatan 2019.”

“Papah angkatan tahun 99, Mas,” jawab Langit sambil tersenyum padaku.

“Oh, berarti Bapak seangkatan dengan Tante saya, Pak. Mungkin Bapak kenal dengan Tante  Nuri kelas IPS 1,” lanjut Rama.

Deg. Jantungku kian melesak rasanya. Aku terbatuk-batuk tidak karuan sampai Langit menyodorkan botol mineral yang ia keluarkan dari tas ranselnya.

“Papah tidak apa-apa?” tanya Langit khawatir dan kujawab dengan anggukan setelah berhasil meneguk air dalam botol.

“Sebentar lagi kita sampai, Pah,” lanjut Langit.

“Sahabat kakak saya juga tinggal di daerah sini, Mas,” ucap Rama.

“Oh, ya?” tanya Langit.

“Nah, kita sudah sampai, Mas. Dan itu rumahnya Tante  Rana, sabahat Tante Nuri, tante  saya,” terang Rama sambil menunjuk rumah berwarna putih berhalaman luas di pinggir jalan.

Aku coba menyingkirkan keringat dingin yang sudah kurasakan dari tadi dengan mengelapnya dengan sapu tangan.

“Ayo, Pah, kita turun,” ajak Langit yang sudah di luar mobil membukakan pintu untukku.

Aku berjuang menguatkan kakiku untuk terus mampu menopang tubuhku yang mulai goyah seiring debaran jantung yang makin kacau iramanya.

Kulihat Langit dan Rama saling bertukar kartu nama dengan senyum bahagia terpancar dari keduanya sebelum Rama berlalu dan melambaikan tangan padaku.

Langit mengucap salam dan mengetuk pintu berukir sederhana namun terlihat unik. Setelah terdengar jawaban salam, pintu terbuka dan kulihat seorang gadis mungil berkerudung pasmina  warna peach keluar dengan terkejut menyambut kedatangan kami.

Aku dan Langit duduk di sofa berwarna hitam di ruang tamu tersebut setelah gadis itu menyilakan kami kemudian berlalu. Kulihat ia menuruni tangga berpagar kayu berpernis. Karena kontur tanah perumahan di sini berbukit dan berundak, jadi bagian rumah yang sejajar dengan jalan adalah sebenarnya bagian lantai dua rumah ini.

Langit mengerutkan dahi melihatku. Kubalas dengan gelengan kepala dan gerak bibir bahwa aku baik-baik saja.

Padahal tidak di dalam hatiku. Langit belum tahu bahwa aku sudah sangat mengenal rumah ini jauh sebelum ia mengenal gadis bernama Ra yang tadi dikenalkan padaku.

Lamunanku buyar ketika Ra datang kembali dengan membawa gelas-gelas minuman dan menatanya di atas meja tamu menemani toples-toples camilan yang sudah terpajang  sejak awal.

Ra memperkenalkan seseorang yang tadi berjalan di belakangnya dan kini berhadapan denganku dan Langit.

“Om,  kenalkan ini Bunda,” ucap Ra padaku.

Langit menganggukkan kepala padaku setelah mendekapkan tangan sebagai salam pada ibunya Ra. Aku mematung. Tatapku nanar memandang dengan berbagai rasa pada sosok yang berdiri anggun di hadapanku. Ia pun menatapku dengan binary yang sama. Kerinduan.

“Ra."

“Pras.”

“Iya, Om?” gadis yang berdiri di samping Langit menjawab dan menatapku.

“Hm, bukan, kamu, Ra. Sepertinya Papah dan Bunda saling mengenal, deh,” sambar Langit.

“Oh, ya ampun, maaf.”

Ra dan Langit tertawa kemudian aku dan ibunya Ra ikut tertawa juga dengan terpaksa. Sungguh aku tidak menyangka akan kenyataan yang sedang di depan mata. Aku mencoba menerjemahkan debaran jantung yang kurasakan sejak di kereta api tadi sampai akhirnya bertemu dengan Rana, ibunya Ra.

“Jadi, Papah dulu juga memanggil Bunda Rana dengan Ra? Sama seperti aku memanggil Rakhsandrina dengan panggilan Ra.” Langit dan Ra tersenyum setelah aku dan Rana menjelaskan hubungan kami sebenarnya kepada anak-anak kami.

“Ra tidak menyangka kalau Bunda dan Om Pras ternyata bersahabat, ya,” lanjut Ra yang diamini kami semua.

Ya, betul.  Jauh sebelum aku mengenal ibunya Langit, aku sering main dengan Rana dan Nuri yang tadi disebutkan oleh Rama. Kami bertiga berteman sejak hari pertama masuk dengan seragam baru putih abu-abu. Sejak itu, kami bersahabat dan tidak terpisahkan. Namun, sayang, komitmen persahabatan kami ternodai perasaan cinta yang tumbuh dan mulai mengakar atas nama persahabatan. Teman-teman yang lain menyebut persahabatan kami terjebak cinta segitiga.

Sebelum pengumuman kelulusan, aku sempat mengungkapkan perasaanku pada Rana. Ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Namun, Rana memintaku untuk tidak menceritakan perasaan  kami masing-masing pada siapapun tidak terkecuali Nuri.

Hingga tepat pada hari pengumuman kelulusan SMA, Nuri mengalami kecelakaan lalu lintas. Nuri menghembuskan napas terakhirnya di rumah sakit setelah dua hari mendapat perawatan intensif. Sebelum kecelakaan itu, ia sempat menitipkan buku diarinya pada Rana. Rana baru berani membacanya setelah Nuri meninggal dunia. Di halaman terakhir tulisannya, Nuri mengungkapkan isi hatinya selama ini kepada Rana dan Pras. Ternyata sudah sejak kelas satu Nuri merasakan jatuh cinta pada Pras yang ia pendam dalam-dalam karena persahabatannya dengan Rana.

Aku dan Rana tidak bisa menahan perasaan sesal dalam dada. Kami merasa kecelakaan yang dialami Nuri  ada andil dari kami. Nuri menangkap basah kami sedang berpegangan tangan  setelah menerima pengumuman kelulusan. Nuri menatap nanar kami berdua yang saat itu terkejut dan spontan saling melepaskan tangan. Setelah itu Nuri berlari meninggalkan kami. Rana mencoba mengejar Nuri yang berlari ke tempat parkir kemudian pergi dengan sepeda motornya. Tidak lama kemudian kabar kecelakaan itu kami terima.

Sejak saat itu, Rana mundur teratur dariku. Aku mencoba menjelaskan padanya bahwa semua sudah menjadi takdir Tuhan. Namun, ia kukuh dengan perasaan bersalahnya dan bersikap  menjaga jarak denganku. Sampai akhirnya aku dan Rana benar-benar berpisah. Walaupun kami sama-sama melanjutkan pendidikan tinggi di Bandung, Rana di UPI dan aku di ITB, kami tidak pernah berkabar apalagi bertemu langsung. Aku benar-benar kehilangan Rana.

Bertahun-tahun aku mencoba melupakan peristiwa itu. Namun, sampai detik aku kembali dapat menatap mata bulat Rana, aku benar-benar tidak dapat melupakannya.

“Aku senang bisa bertemu lagi denganmu, Pras,” ucap Rana dengan tatapan matanya yang masih seperti dulu.

“Aku juga. Tidak kusangka, melalui anak-anak, kita bisa bertemu lagi,” balasku.

Kami mengobrol di balkon belakang rumah lantai duanya. Menatap pesawahan yang masih sama seperti puluhan tahun lalu saat aku dan Nuri sering belajar bareng di saung tepi sawah milik orang tua Rana. Kini, giliran Ra dan Langit yang berlarian sambil sesekali berswafoto di pematang sawah. Aku bahagia melihat mereka begitu ceria dan bahagia. Semoga kehidupan mereka selanjutnya akan terus diwarnai keceriaan dan kebahagiaan.

Sebelumnya, aku dan dan Langit sudah menyampaikan lamaran kepada Rakhsandrina yang diterima oleh gadis itu yang juga dihadiri oleh Rana dan kakaknya yaitu Rafa yang juga terkejut saat bertemu lagi denganku.

Aku dan Langit pamit saat senja menjelang. Keluarga Ra membekali kami dengan bermacam oleh-oleh. Sebelum naik taksi yang dipesan daring oleh Langit, sekali lagi aku menatap mata Rana. Ada rinai yang sama kutemukan di sana yang membuatku tenang kali ini meninggalkannya.***

Sumedang, 9 Oktober 2022



2 komentar:

  1. Selalu kereeen. Suka banget dengan cerpennya

    BalasHapus
  2. Mungkinkah tatapan Rana mengantar punggung Pras hingga menghilang ditelan tikungan ?

    BalasHapus