Kami meninggalkan Stasiun Bandung tepat saat
matahari sudah terbit sempurna dengan kereta pertama. Aku mencoba mengatur
debar jantung yang tak karuan bahkan sejak dua malam yang lalu ketika Langit
menyampaikan isi hatinya padaku.
Memang sudah lama aku mengetahui hubungan Langit
dengan seorang gadis. Hampir setiap akhir pekan Langit menceritakan gadis
pujaan hatinya tersebut padaku. Namun, tak kusangka ia akan secepat itu
bermaksud serius dengan gadis yang berasal dari kota yang sama dengan kota
kelahiranku, Sumedang.
“Pah, Langit tahu sudah sudah lama sekali Papah
tidak pernah kembali ke Sumedang tapi kali ini Langit mohon sama Papah. Langit
mohon izin untuk bertemu Ra dan keluarganya di Sumedang akhir minggu ini,” ucap
Langit memohon padaku.
Kuhela napas panjang sebelum menjawabnya, “Baiklah,
Nak. Lusa kita ke sana.”
Langit memelukku erat sambil mengucapkan terima
kasih. Kutinggalkan Langit di ruang tengah saat menelpon Ra. Kutatap kerlip
lampu Kota Bandung yang tak pernah padam. Anganku berputar seolah ingin
mendahului lusa.
Sebenarnya bukan hal yang sulit untukku untuk pergi
ke Sumedang. Jarak Bandung-Sumedang kini semakin dekat. Selain akses jalan tol
Cisumdawu yang sudah lancar memperpendek jarak tempuh, kini ada jalur kereta
juga yang menghubungkan Sumedang-Bandung. Namun, perasaan berat atas masa lalu
yang membuat langkahku berat hingga akhirnya aku menetap di ibukota provinsi
ini.
Langit memilih kereta sebagai moda transportasi kami ke Sumedang
untuk menemui Ra dan keluarganya. Ia sengaja tidak membawa mobil dengan alasan
ingin menikmati perjalanan tanpa harus fokus ke jalan. Kuikuti saja
keinginannya sekaligus penasaran perjalanan seperti apa yang akan kutemukan.
Perjalanan kereta api cepat Bandung-Sumedang hanya
memakan waktu sekitar 15 menit saja. Meskipun kereta api cepat tetapi kami
masih bisa menikmati pemandangan alam yang
indah sepanjangan perjalanan. Melewati bukit dan perumahan di kejauhan,
jantungku kian berdetak kencang. Entahlah, kenapa begitu sulit kuredakan
debaran ini.
Tanpa terasa, kami telah tiba di Stasiun Jatihurip
Sumedang saat pagi menggeliat menyambut hari Sabtu. Keluar dari gerbang stasiun
kami sudah disambut oleh pengemudi taksi daring yang sudah dipesan Langit.
Taksi yang kami tumpangi berjalan pelan tapi pasti
membelah kota yang membuatku terpana.
“Wah, sudah banyak perubahan, rupanya,” gumamku.
“Sumedang banyak berubah, ya, Pah?” sambar Langit
seolah memahami maksudku.
Sebelum kujawab pertanyaan Langit yang sebenarnya
tak perlu kuulang, sopir taksi mendahuluiku.
“Betul, Mas, Pa. Sumedang sekarang sudah benar-benar
“ngota”.”
“Maksudnya “ngota” apa, ya, Pak?” tanya Langit.
“Iya, Sumedang seperti sudah jadi kota besar, Mas.
Seperti tadi Mas dan Bapak dari stasiun kereta. Dulu mana ada kereta lewat kota
ini. Jalan tol juga udah bagus, mobil dari luar Sumedang langsung masuk kota tanpa harus lewat Cadas
Pangeran.”
“Oh, iya, Pak, betul,” balas Langit sambil
manggut-manggut. Kulihat ia setuju dengan pernyataan Langit karena beberapa
kali menemui Ra di Sumedang telah
melewati berbagai jalan akses dan moda transportasi yang berbeda.
Aku hanya menyimak percakapan Langit dan sopir taksi
yang kulihat dari kartu identitas di atas dashboard-nya bernama Rama itu. Ya,
memang banyak perubahan kulihat. Sepanjang perjalanan dari stasiun kereta tadi
banyak kulihat gedung-gedung bertingkat yang digunakan untuk perkantoran maupun
bisnis. Ada beberapa mall juga yang berdiri megah di sepanjang jalan besar yang
membelah pusat kota ini.
Rama pun menceritakan tentang Bendungan Jatigede
yang sudah mudah dapat diakses dengan berbagai moda transportasi. Begitu pula
jika ingin ke Bandara Kertajati, sekarang dapat ditempuh dengan waktu yang
tidak terlalu lama. Tidak ketinggalan jalan-jalan yang menghubungkan kota
dengan kecamatan, kecamatan ke desa-desa, sampai ke pelosok kampung dan perbatasan wilayah terluar
kabupaten.
Mayoritas desa-desa di Sumedang sudah mandiri dalam
pengelolaan manajemen maupun ekonomi masyarakatnya. Didukung pula dengan
jejaring infrastruktur baik fisik maupun digital.
Aku menyimak penjelasan Rama yang lumayan panjang
lebar tentang perkembangan kota kelahiranku ini. Ah, seandainya aku tetap
menetap di sini, akan kunikmati semua perubahan dan perkembangan kota ini
dengan langsung. Selama ini aku memang selalu mengikuti perkembangan Sumedang
melalui pemberitaan di media daring. Aku bangga dengan perubahan dan
perkembangan kotaku yang melesat ini.
“Iya, benar, Mas. Sejak masa pemerintahan Pak Bupati
Dony Ahmad Munir, kota ini berkembang sangat pesat,” ucap Rama yang diaminkan Langit hampir
bersamaan dengan anggukan kepalaku.
“Padahal di awal masa jabatannya, sempat terhadang
pandemik virus Covid 19 tetapi Pak Bupati beserta jajarannya tetap melakukan
pembangunan di berbagai bidang. Saya saat itu masih sekolah tapi melihat jejak
pembangunan beliau sungguh luar biasa sampai sampai saat ini,” lanjut Rama.
Aku setuju dengan Rama. Rasa bangga akan kampung
halaman selalu aku rasakan walaupun selama ini aku selalu merasa berat untuk
kembali ke sini, kecuali hari ini. Demi putra semata wayangku yang kubesarkan
dengan segenap jiwa sejak ia lahir dan langsung kehilangan ibu kandungnya.
Hf, jantungku rasanya melesak ketika taksi melewati
sekolah almamaterku sebelum akhirnya berbelok ke arah selatan pusat kota.
Sekolahku dulu yang kini sudah berubah rupa menjadi jejeran gedung sekolah
bertingkat lima itu kian megah di mataku.
“Pah, itu SMA Papah, kan?”
Karena aku terdiam, Rama juga ikut bertanya
padaku,”Bapak alumni SMA 1 juga? Angkatan berapa? Saya angkatan 2019.”
“Papah angkatan tahun 99, Mas,” jawab Langit sambil
tersenyum padaku.
“Oh, berarti Bapak seangkatan dengan Tante saya,
Pak. Mungkin Bapak kenal dengan Tante Nuri kelas IPS 1,” lanjut Rama.
Deg. Jantungku kian melesak rasanya. Aku
terbatuk-batuk tidak karuan sampai Langit menyodorkan botol mineral yang ia
keluarkan dari tas ranselnya.
“Papah tidak apa-apa?” tanya Langit khawatir dan
kujawab dengan anggukan setelah berhasil meneguk air dalam botol.
“Sebentar lagi kita sampai, Pah,” lanjut Langit.
“Sahabat kakak saya juga tinggal di daerah sini,
Mas,” ucap Rama.
“Oh, ya?” tanya Langit.
“Nah, kita sudah sampai, Mas. Dan itu rumahnya Tante
Rana, sabahat Tante Nuri, tante saya,” terang Rama sambil menunjuk rumah
berwarna putih berhalaman luas di pinggir jalan.
Aku coba menyingkirkan keringat dingin yang sudah
kurasakan dari tadi dengan mengelapnya dengan sapu tangan.
“Ayo, Pah, kita turun,” ajak Langit yang sudah di
luar mobil membukakan pintu untukku.
Aku berjuang menguatkan kakiku untuk terus mampu
menopang tubuhku yang mulai goyah seiring debaran jantung yang makin kacau
iramanya.
Kulihat Langit dan Rama saling bertukar kartu nama
dengan senyum bahagia terpancar dari keduanya sebelum Rama berlalu dan
melambaikan tangan padaku.
Langit mengucap salam dan mengetuk pintu berukir
sederhana namun terlihat unik. Setelah terdengar jawaban salam, pintu terbuka
dan kulihat seorang gadis mungil berkerudung pasmina warna peach keluar dengan terkejut menyambut
kedatangan kami.
Aku dan Langit duduk di sofa berwarna hitam di ruang
tamu tersebut setelah gadis itu menyilakan kami kemudian berlalu. Kulihat ia
menuruni tangga berpagar kayu berpernis. Karena kontur tanah perumahan di sini
berbukit dan berundak, jadi bagian rumah yang sejajar dengan jalan adalah
sebenarnya bagian lantai dua rumah ini.
Langit mengerutkan dahi melihatku. Kubalas dengan
gelengan kepala dan gerak bibir bahwa aku baik-baik saja.
Padahal tidak di dalam hatiku. Langit belum tahu
bahwa aku sudah sangat mengenal rumah ini jauh sebelum ia mengenal gadis
bernama Ra yang tadi dikenalkan padaku.
Lamunanku buyar ketika Ra datang kembali dengan
membawa gelas-gelas minuman dan menatanya di atas meja tamu menemani
toples-toples camilan yang sudah terpajang
sejak awal.
Ra memperkenalkan seseorang yang tadi berjalan di
belakangnya dan kini berhadapan denganku dan Langit.
“Om, kenalkan
ini Bunda,” ucap Ra padaku.
Langit menganggukkan kepala padaku setelah
mendekapkan tangan sebagai salam pada ibunya Ra. Aku mematung. Tatapku nanar
memandang dengan berbagai rasa pada sosok yang berdiri anggun di hadapanku. Ia
pun menatapku dengan binary yang sama. Kerinduan.
“Ra."
“Pras.”
“Iya, Om?” gadis yang berdiri di samping Langit
menjawab dan menatapku.
“Hm, bukan, kamu, Ra. Sepertinya Papah dan Bunda
saling mengenal, deh,” sambar Langit.
“Oh, ya ampun, maaf.”
Ra dan Langit tertawa kemudian aku dan ibunya Ra
ikut tertawa juga dengan terpaksa. Sungguh aku tidak menyangka akan kenyataan
yang sedang di depan mata. Aku mencoba menerjemahkan debaran jantung yang
kurasakan sejak di kereta api tadi sampai akhirnya bertemu dengan Rana, ibunya
Ra.
“Jadi, Papah dulu juga memanggil Bunda Rana dengan
Ra? Sama seperti aku memanggil Rakhsandrina dengan panggilan Ra.” Langit dan Ra
tersenyum setelah aku dan Rana menjelaskan hubungan kami sebenarnya kepada
anak-anak kami.
“Ra tidak menyangka kalau Bunda dan Om Pras ternyata
bersahabat, ya,” lanjut Ra yang diamini kami semua.
Ya, betul.
Jauh sebelum aku mengenal ibunya Langit, aku sering main dengan Rana dan
Nuri yang tadi disebutkan oleh Rama. Kami bertiga berteman sejak hari pertama masuk
dengan seragam baru putih abu-abu. Sejak itu, kami bersahabat dan tidak
terpisahkan. Namun, sayang, komitmen persahabatan kami ternodai perasaan cinta
yang tumbuh dan mulai mengakar atas nama persahabatan. Teman-teman yang lain
menyebut persahabatan kami terjebak cinta segitiga.
Sebelum pengumuman kelulusan, aku sempat
mengungkapkan perasaanku pada Rana. Ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah
tangan. Namun, Rana memintaku untuk tidak menceritakan perasaan kami masing-masing pada siapapun tidak terkecuali
Nuri.
Hingga tepat pada hari pengumuman kelulusan SMA,
Nuri mengalami kecelakaan lalu lintas. Nuri menghembuskan napas terakhirnya di
rumah sakit setelah dua hari mendapat perawatan intensif. Sebelum kecelakaan
itu, ia sempat menitipkan buku diarinya pada Rana. Rana baru berani membacanya
setelah Nuri meninggal dunia. Di halaman terakhir tulisannya, Nuri
mengungkapkan isi hatinya selama ini kepada Rana dan Pras. Ternyata sudah sejak
kelas satu Nuri merasakan jatuh cinta pada Pras yang ia pendam dalam-dalam
karena persahabatannya dengan Rana.
Aku dan Rana tidak bisa menahan perasaan sesal dalam
dada. Kami merasa kecelakaan yang dialami Nuri ada andil dari kami. Nuri menangkap basah kami
sedang berpegangan tangan setelah
menerima pengumuman kelulusan. Nuri menatap nanar kami berdua yang saat itu
terkejut dan spontan saling melepaskan tangan. Setelah itu Nuri berlari
meninggalkan kami. Rana mencoba mengejar Nuri yang berlari ke tempat parkir
kemudian pergi dengan sepeda motornya. Tidak lama kemudian kabar kecelakaan itu
kami terima.
Sejak saat itu, Rana mundur teratur dariku. Aku
mencoba menjelaskan padanya bahwa semua sudah menjadi takdir Tuhan. Namun, ia
kukuh dengan perasaan bersalahnya dan bersikap menjaga jarak denganku. Sampai akhirnya aku
dan Rana benar-benar berpisah. Walaupun kami sama-sama melanjutkan pendidikan
tinggi di Bandung, Rana di UPI dan aku di ITB, kami tidak pernah berkabar
apalagi bertemu langsung. Aku benar-benar kehilangan Rana.
Bertahun-tahun aku mencoba melupakan peristiwa itu. Namun,
sampai detik aku kembali dapat menatap mata bulat Rana, aku benar-benar tidak
dapat melupakannya.
“Aku senang bisa bertemu lagi denganmu, Pras,” ucap
Rana dengan tatapan matanya yang masih seperti dulu.
“Aku juga. Tidak kusangka, melalui anak-anak, kita
bisa bertemu lagi,” balasku.
Kami mengobrol di balkon belakang rumah lantai
duanya. Menatap pesawahan yang masih sama seperti puluhan tahun lalu saat aku
dan Nuri sering belajar bareng di saung tepi sawah milik orang tua Rana. Kini,
giliran Ra dan Langit yang berlarian sambil sesekali berswafoto di pematang
sawah. Aku bahagia melihat mereka begitu ceria dan bahagia. Semoga kehidupan
mereka selanjutnya akan terus diwarnai keceriaan dan kebahagiaan.
Sebelumnya, aku dan dan Langit sudah menyampaikan
lamaran kepada Rakhsandrina yang diterima oleh gadis itu yang juga dihadiri
oleh Rana dan kakaknya yaitu Rafa yang juga terkejut saat bertemu lagi
denganku.
Aku dan Langit pamit saat senja menjelang. Keluarga
Ra membekali kami dengan bermacam oleh-oleh. Sebelum naik taksi yang dipesan
daring oleh Langit, sekali lagi aku menatap mata Rana. Ada rinai yang sama
kutemukan di sana yang membuatku tenang kali ini meninggalkannya.***
Sumedang,
9 Oktober 2022

Selalu kereeen. Suka banget dengan cerpennya
BalasHapusMungkinkah tatapan Rana mengantar punggung Pras hingga menghilang ditelan tikungan ?
BalasHapus